![]() |
Rahasia antar Pria | Image : Freepik.com (storyset) |
"Reyhan ...." seru seorang gadis tiba-tiba menghentikan langkahnya tepat di sebelahku. Gadis berjilbab cream dan gamis panjang hitam, nampak terpaku di tempatnya.
Saat aku menoleh gadis itu langsung menundukkan pandangannya, menyembunyikan raut wajah kagetnya. Aku terkesiap begitu melihat siapa orang yang baru saja menyapaku. Dia ....
"Maaf, sepertinya saya salah orang," cicitnya menyadarkanku dari lamunan.
"Ya, saya Reyhan," sahutku cepat sebelum gadis itu kembali menyambung langkahnya.
Ekspresi gadis itu tidak berubah, masih kaget, hanya saja sekarang terlihat senyum tipis di wajahnya. Senyum yang seketika membawaku pada ingatan masa lalu.
Ya, aku sangat ingat jelas senyum itu. Senyumnya masih sehangat dulu. Seulas senyum sederhana yang mampu memporak-porandakan detak jantungku dengan tidak masuk akal. Senyum yang diam-diam sering aku nikmati secara lancang tanpa sang pemiliknya tahu.
Kala itu aku hanyalah remaja labil yang tidak peduli akan perintah menjaga pandangan. Menatap lawan jenis adalah dosa, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin terus menatapnya meski dari kejauhan. Entah berapa banyak dosa yang telah aku lakukan karena hampir setiap hari aku mencuri pandang ke arahnya.
"Lo suka sama Aisyah, ya?" Suatu hari, aksiku itu tertangkap basah oleh Gibran, teman sebangkuku, satu-satunya manusia yang begitu dekat denganku di kelas.
Kami berteman sejak awal masuk SMA. Gibran sering membantuku dalam beragam urusan mulai dari meminjamkan catatan, mengajari materi yang tak kupahami, sampai membantuku untuk tidur di kelas. Berbicara soal loyalitas sebagai sahabat, Gibran memang tidak perlu diragukan lagi, dia sangat baik, hanya satu kekurangannya dia memiliki otak yang sedikit gesrek, yap! Soal itu hanya aku yang tahu.
Tidak jarang orang mengira kami saudara kembar lantaran kami yang selalu bersama-sama ditambah lagi wajah kami yang jika sekilas terlihat sama. Wajahku dan Gibran khas Timur Tengah dengan hidung tinggi, mata besar, alis hitam dan rahang tegas. Perbedaan kami hanya terletak pada raut wajahku yang lebih lembut dan warna kulitku yang sedikit lebih terang ketimbang Gibran.
Bagiku Gibran bukan hanya sekedar sahabat, dia sudah seperti saudaraku sendiri. Dia sering main dan menginap di rumahku, begitupun aku, sering main dan menginap di rumahnya. Ibu Gibran bahkan bisa dibilang lebih sayang padaku ketimbang Gibran yang sering menyulap benda-benda rumah tangan menjadi aneh, misalnya kemonceng tali skiping.
"Ini namanya inovasi, Bu. Bisa buat ngilangin debu plus lemak perut." Begitulah kira-kira cara Gibran ngeles dari omelan panjang ibunya.
Semua tentangku, Gibran tahu, begitu pun aku sebaliknya. Hanya saja untuk bagian ini, aku berniat untuk menyembunyikan dari Gibran.
"Hem, itu ...." Aku berusaha menggelak meski itu rasanya sia-sia karena aku yakin betul Gibran sudah bisa melihat rona pada wajahku yang menghangat, malu.
"Lo suka Aisyah," katanya kali ini tidak terdengar seperti kalimat tanya. Gibran menyimpulkan dengan yakin.
"Gue emang udah curiga dari lama sih, baru hari ini aja gue tangkap basah lo," tambah Gibran.
"Gimana dong, gue jatuh cinta banget sama Aisyah, tapi gue malu buat deketin dia. Dia pintar, baik, sholeh juga, lah gue ... kebalikan. Kayak langit sama bumi. Jauh banget," jawabku, mau tidak mau jujur.
"Lebih jauh dari itu, kayak bumi sama pluto," tambah Gibran sadis. Aku meringgis, tidak bisa membantah.
"Makanya lo bantuin gue dong ...." sahutku. Seketika sebuah ide melintas terang di kepalaku. Aku langsung menampilkan senyum paling terbaik, entah terbaik juga bagi Gibran atau tidak, pasalnya Gibran kini malah meringgis, jijik.
"Kenapa lo liat gue kayak gitu?" sergah Gibran cepat.
"Lo bisa tahu bantuin gue," kataku sembari tersenyum simpul. Bagaimana bisa aku lupa akan status Gibran sebagai bintang kelas, juara satu umum, anak emas guru. Semua orang di kelas selalu berusaha untuk dekat dengan Gibran, termasuk Aisyah.
"Ogah! " Gibran menggeleng keras, menolak mentah-mentah permintaanku untuk mendekatkanku dengan Aisyah.
" Lo yang suka kenapa gue yang repot."
"Gitu banget lo jadi sahabat." Aku memberengut kecewa. "Lo gak tega liat sahabat lo sendiri jomblo lapuk kayak gini? Gue pengen sekali aja punya pacar."
"Ngapain pacaran, dosa! "
"Ya kali langsung nikah. Gue belum siap."
"Tuh, tahu. Terus ngapain dekatin anak orang buat diajak pacaran? "
"Lo apa-apan sih. Pikiran lo kolot banget. Pacaran doang gak ngapa-ngapain yang penting gak macam-macam."
"Pegang tangan itu ngapa-ngapain loh. Senyam-senyum, lirik-lirikan juga namanya juga ngapa-ngapain ... kebanyakan kena radiasi drama alay nih otak lo, jadi jauh dari agama."
"Eh, buset mulut lo udah kayak ustadz aja. Ingat lo sama gue gak ada beda. Sok-sokan lo," sahutku yang akhirnya tersulut emosi.
Aku langsung membuang wajah. Satu hal lagi yang tidak aku sukai dari Gibran, dia selalu berbicara tajam yang sialnya selalu benar, aku jadi tidak punya celah untuk membantah argumennya yang terlampau kuat dan itu sangat menyebalkan.
"Lo gak mau bantu ya udah ... "tambahku. Gibran tidak menyahut lagi.
Seharian, aku dan Gibran tidak bercakap-cakap seperti biasanya di kelas. Sejujurnya aku tidak lagi kesal dengan perkataannya itu, aku hanya sungkan untuk menegurnya duluan. Terlebih lagi ekspresi Gibran yang nampak tidak peduli. Namun, begitu aku sampai di rumah, Gibran mengirimkan pesan yang berisi kalo dirinya yang ingin main ke rumahku.
"Lo masih marah sama gue? " tanyanya begitu masuk ke dalam rumah.
Aku hanya diam saja.
"Terserah lo aja, gue ke sini juga mau ketemu ibu kok, bukan lo," ujar Gibran sembari melenggang ke dapur, mencari keberadaan ibu yang tengah berkutit dengan adonan bakwan terbaru dengan menambahkan toping chococip di dalamnya.
Yap, jika aku anak kesayangan ibunya, maka Gibran anak kesayangan ibuku. Ibuku dan Gibran memiliki banyak kesamaan, suka bereksperimen dan memiliki banyak ide-ide yang kadang membuat kepalaku pusing mendengarkannya. IQ-ku tidak sampai untuk memahami topik pembahasan mereka. Jika ibu dan Gibran bertemu, aku bagai manusia asing yang tidak terlihat. Aku selalu mencari alasan untuk kabur dari topik pembicaraan mereka, atau mengajak Gibran ke kamar.
Namun, untuk hari itu aku merasa sangat senang akan keberadaan Gibran. Setidaknya aku tidak perlu mencoba makanan ekspreimen milik ibu. Gibran dengan senang hati mencobai semua ekspreimen makanan yang ibu buat dan herannya dia selalu mengatakan bahwa rasanya sangat menakjubkan.
"Lo benaran gak mau bantu gue?" isengku pada Gibran yang tegah fokus mengunyah bakwan choochip. Aku tahu betul bagaimana prinsip dan keras kepalanya seorang Gibran. Jika dia bilang tidak, maka dua abad pun tidak akan berubah.
Gibran mengambil satu lagi bakwan dari dalam piring. Aku meringgis, membanyangkan entah apa rasanya, aku tidak berniat mencobanya.
"Rasa gak penting, yang penting hasil dari prosesnya," gumam Gibran. Aku tidak peduli. "Btw, lo masih punya niat buat pacaran sama Aisyah? Gue niat mau nolong loh ...."
"Eh?" Aku mengerjap bingung. "Nolongin gue dekat sama Aisyah?"
"Bakwannya enak. Lo gak mau coba?"
Gibran tidak menghiraukan ekspresi kaget pada wajahku.
"Lo serius mau bantu gue, kan?" ulangku memastikan, seperti biasa Gibran tidak menyahut yang aku artikan sebagai jawaban iya.
"Lo cukup bantuin gue biar bisa terlihat oleh Aisyah. Udah gitu aja."
Gibran spontan memincingkan mata, terlihat bingung.
"Ya, minimal dia tahu nama gue. Kita emang sekelas, tapi gue sangsi banget kalo dia tahu gue. Dia bahkan gak pernah noleh ke arah gue. Kalo ke meja, dia cuma fokus sama lo aja," jelasku.
"Sakit leher kali dia," timpal Gibran. Aku nyaris tergelak, tapi berusaha menahannya dengan baik.
"Makanya gue takut buat deketin Aisyah," lanjutku berusaha membahas ini dengan serius.
"Bakwanny buat gue semua ya?" tanya Gibran. Dia memang menyebalkan.
"Lo cukup kenalin gue ke dia, caranya lo harus jadi teman dia dulu. Terus pelan-pelan deh, lo terus omongin tentang gue ke dia. Lama-lama dia bakal notif gue, kan. Dengan begitu besar peluang gue buat—"
"Pacaran?" potong Gibran.
Aku mengangguk semangat. "Lo bisa, kan?"
"Lo tahu kan kalo pacaran itu dosa? "
"Lo mulai lagi." Aku memutar bola mata malas. "Lo bisa bantu gue gak nih? "
"Jadi teman Aisyah ? Bisa aja ...." sahut Gibran pelan seraya mengunyah bakwan terakhir.
"Nah gitu dong. Lo emang sahabat terbaik gue ...." Sangking bahagianya aku nyaris memeluk Gibran, beruntung Gibran langsung menenedangku menjauh darinya.
"Najis lo, gak usah peluk-peluk gue! " cibirnya. Aku cekikingan melihat wajah Gibran yang nampak memerah.
Hari itu aku sangat bahagia dan kebahagianku itu berlanjut ke hari-hari selanjutnya. Gibran berhasil menjadi jembatan antara aku dan Aisyah. Aku sering meminta Gibran memberikan puisi cinta, makanan yang kubuat sendiri dan semangat pada Aisyah. Pelan, tapi pasti, Aisyah mulai menyadari kehadiranku, beberapa kali gadis itu terlihat menoleh ke arahku. Dia juga nampak tersenyum jika berpapasan atau bertemu denganku di kantin.
Hingga suatu hari, bawah teriknya sinar matahari, selesai jam olahraga, tiba-tiba Aisyah menghampiriku yang penuh keringat setelah bermain bola di lapangan.
Aku sangat malu kala itu bukan hanya karena jantungku berdegup dengan sangat gila, aku juga takut aroma apek tubuhku membuatnya illfel.
"Reyhan," cicit Aisyah. Aahhh ... rasanya aku ingin berteriak bahagai, ini kali pertamanya Aisyah menyebut namaku secara langsung.
"Ada yang ingin aku sampaikan sama kamu. Tapi tolong jangan sampai ada yang tahu tentang akhir-akhir ini....."
"Tentang apa? " gumamku, bingung.
"Tentang semuanya," tambah Aisyah, mengangkat kecil kepalanya. Suaranya terdengar nampak serius dan juga sedikit gugup.
Aku nyaris tersedak ludah sendiri. Senyum terbit begitu lebar di wajahku, tidak peduli meski itu terlihat bodoh. Rasanya tubuhku seperti diombang-ambing air lautan, begitu ringan. Kakiku bagai sedang melayang dengan sayap tak terlihat. Dan jantungku nyaris berhenti sejenak menikmati perasaan melambung tinggi ini.
"Sebenarnya, aku—"
"Ya! " Aku spontan memotong perkataan Aisyah. "Aku juga suka kamu ...."
Hening. Suasana riuh lapangan seolah tidak membantu mencairkan kecanggungan yang terjadi antara aku dan Aisyah.
Aku menggaruk pelan kepalaku yang tiba-tiba memang terasa gatal. Aku diserang rasa malu, seharusnya aku membiarkan Aisyah menyelesaikan kalimatnya dulu, tapi apa salahnya jika aku membantunya? Bukankah itu juga yang ingin Aisyah sampaikan, kenapa tiba-tiba Aisyah malah membisu?
Aku baru hendak ambil suara, tapi suara pelan Aisyah mengurungkan niatku itu.
"Sebenarnya itu masalahnya. Kamu suka aku, tapi ...." Aisyah melirik ke sekitar, dia terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Tiba-tiba suara pelannya berganti menjadi berbisik. "Tapi jangan lakukan ini pada Gibran. Kasihan dia. Gibran tersakiti."
Keningku berkerut bingung. Benakku berbisik nyaring menerka maksud kalimat Aisyah, jangan-jangan Gibran juga suka Aisyah?
"Jika itu benar, maka sebagai sesama laki-laki, biarkan kami bersaing secara sehat untuk bisa mendapatkan hatimu," ujarku berushaa terdengar sediplomatik mungkin, menghalau getirnya suaraku sendiri. Dalam persahabatan antara pria hal ini biasa terjadi bukan?
"Ini bukan soal aku, tapi soal kamu," ujar Aisyah. "Gibran suka kamu."
Aisyah mengangkat sedikit kepalanya, melihat aku yang bagai disambar petir. Mataku membelak, tapi lidahku keluh.
Aku ditolak dan mendapat fakta mengerikan soal Gibran.
Hari itu, semua terasa sangat campur aduk di benakku. Aku sedih, kecewa, patah hati dan juga marah. Apa yang sebenarnya ada di otak Gibran? Bagaimana bisa dia begitu mencurangi aku? Bagaimana bisa persahabatan ini jadi begitu tercemar ? Aku membencinya.
Kemarahan itu yang membuatku mendatangi Gibran di kelas dan langsung meninjunya tanpa peduli dimana kami berada. Di kelas yang semula berisik mendadak menjadi hening.
"Lo gila! Gue gak nyangka kalo lo semenjijikan ini! Gue nyesel pernah nganggap lo sahabat gue !" teriakku. Gibran tidak menyahut.
Dan semenjak hari itu, aku tidak lagi melihat Gibran. Dia bak hilang ditelan bumi. Dua hari setelahnya, Aisyah juga pergi, pindah sekolah. Kemarahan dibenakku menghalauku untuk datang menemui Aisyah di hari terakhirnya di sekolah.
"Akhirnya setelah sekian lama, kita bisa bertemu lagi." Suara Aisyah menghentikan lamunanku.
"Rasanya waktu sudah berjalan sangat cepat, tapi kejadian waktu itu masih terasa seperti memori baru," ujar Aisyah. Suara gadis itu terdengar getir.
"Aku minta maaf untuk hari itu. Seharusnya aku tidak mengatakannya."
"Tidak perlu merasa bersalah Aisyah. Kejadian itu tidak sepenuhnya buruk. Patah hati itu malah membawa saya menemukan jalan ketenangan. Jalan yang mulai menjadi titik balik saya sekarang. Patah hati pada manusia dan jatuh cinta pada-Nya."
Aisyah spontan mengangkat kepalanya, baru kusadari ada setitik air mengenang di sudut matanya.
"Sudah lama saya ingin meminta maaf perihal ini dan hari ini akhirnya Allah mengabulkan doa saya. Kita dipertemukan di sini," ujar Aisyah dengan suara gemetar sekaligus haru.
"Aisyah, ternyata kamu di sini, saya dari tadi nyariin kamu ...."
Terdengar suara dari balik punggungku. Aku menoleh dan mendapati seorang pria bertubuh tinggi menghampiri Aisyah. Pandang pria itu hanya tertuju pada Aisyah. Matanya menatap lembut gadis itu, terlihat begitu banyak cinta di sana. Baru kusadari di jari manis Aisyah tersemat sebuah cicin yang sama dengan cincin yang pria itu kenakan.
Dia suami Aisyah.
"Sudah lama kita tidak berjumpa. Apa kabar lo ?" Aku tahu itu kalimat sapa yang terlalu basi, tapi hanya itulah yang mampu keluar dari mulutku. Terlalu banyak yang ingin aku katakan hingga aku bingung harus mengatakan yang mana.
Suaraku menyadarkan pria itu kalo di sana tidak hanya ada Aisyah.
"Senang bisa bertemu lo lagi. Lo masih marah sama gue? "
Aku terkekeh, ingin rasanya aku meninju pipinya lebih keras dari waktu itu. Ternyata kalimat sapaku tidak seburuk Gibran.
"Pipi lo gimana? Gue nyesel waktu itu kurang kenceng mukul lo, seharusnya lebih kenceng lagi."
Gibran tertawa mengabaikan raut bingung Aisyah.
"Alhamdulillah aman sih. Cuma setelahnya gue demem. Gak nyangka gue. Badan lo kecil, tapi tenaga lo kuat banget."
"Lihat, istri lo masih ngerasa bersalah sampai sekarang, gara-gara ide gila lo itu."
Bukannya menjelaskan pada Aisyah yang menuntut jawaban, Gibran malah cengegesan mengoda istrinya itu.
"BTW, selamat atas pernikahan kalian. Semoga kalian Sakinah Mawadah Warahmah. Aamiin," ujarku seraya menjabat tangan Gibran. Gibran mengucap terima kasih di susul pertanyaan bingung Aisyah soal dari mana aku tahu mengenai hal itu.
Aku dan Gibran kompak tersenyum sebagai jawabannya. Ini rahasia antar pria.
"Ibu lo udah cerita ke lo, ya? " ujar Gibran begitu Aisyah memberikan kami waktu untuk bicara berdua.
"Iya." Aku memutar bola mata malas. Gibran dengan otak gesreknya menipu Aisyah yang terlalu naif. Gibran membuat permainan kata yang membuat Aisyah salah paham. Aku suka Reyhan, sebenarnya itu kata yang bisa dimaknai lebih luas, hanya saja, Aisyah yang polos mengartikannya secara sempit dan aku yang patah hati juga melakukan hal yang sama.
"Yang jadi pertanyaan gue, kok bisa-bisanya lo punya ide kayak gitu," cibirku tajam.
"Lo susah dinasehati, makanya harus dikasih pukulan biar lo sadar diri," sahut Gibran santai.
"Itulah alasan kenapa bertahun-tahun gue ngehindari dari lo. Gue gak mau ketemu ide gila lo lagi."
Gibran terkekeh. "Ada satu lagi, Aisyah bukan istri gue, dia ibu—"
"Jangan asal ngomong lagi lo ! Udah tutup mulut lo." Aku menatap tajam Gibran. Gibran dengan wajah datar tapi menyebalkan itu malah tertawa puas melihatku yang dongkol.
"Gue buru-buru harus ke kampus. Setelah hari ini gue berdoa gak ketemu lagi sama lo dan ide gila lo selanjutnya," ujarku sebagai ucapan perpisahan.
"Tapi, gue baru aja beli rumah di sebelah rumah lo. Lo gak tahu kalo tetangga baru lo itu gue? "
See ... Seharusnya aku meninjunya lebih keras, agar otaknya kembali ke tempat semula.
**
**
-Annisa Adelina
0 comments:
Post a Comment