Ragunan, begitu mendengar nama tempat itu, hal pertama yang terbesit di benakku adalah beragam hewan-hewan lucu dan mengemaskan yang bisa dilihat secara langsung. Sebenarnya ini bukan kali pertama aku ke Ragunan, tapi saat ini aku lebih bersemangat ketimbang dulu saat aku belum paham kenapa orang-orang bisa bahagia hanya dengan melihat pohon dan para satwa yang dikurung. Kali ini aku datang ke Ragunan bukan hanya sekedar melihat para satwa, tapi juga mengerjakan tugas membuat video musikalisasi puisi bersama dua temanku, Devin dan Halima.
Setelah selesai mengerjakan tugas, salah satu temanku mengajak untuk berkeliling Ragunan. Awalnya kami hanya ingin berkeliling dengan berjalan kaki untuk menikmati pemandangan sekitar, namun karena hal itu dirasa terlalu melelahkan, temanku menyarankan untuk menyewa sepeda.
Udara yang segar dengan pemandangan pohon yang memanjakan mata di tambah dengan jalan yang bagus, memang sangat cocok untuk dijadikan tempat bersepeda. Aku juga sangat setuju akan ide itu, namun terbesit rasa ragu di benakku begitu hendak menyewa sepeda. Pasalnya aku sudah sangat lama tidak bermain sepeda, ditambah lagi skill bermain sepedaku yang masih terbilang amatiran. Setelah menelaah sepintas mengenai rute jalan di Ragunan, aku mendapat kesimpulan bahwa rute di sana tidak cukup ramai untuk para pesepeda amatiran, karena ada jalan yang menanjak, menurun dan beberapa jalan yang tidak benar-benar mulus alias ada yang berlubang.
“Eh, kita pake sepeda yang berdua aja ya,” pintaku pada Halima.
Tapi Halima menolaknya, katanya, sepeda seperti itu terasa kurang nyaman, berat dan ruang geraknya seperti terbatas. Karena tidak mau menjadi beban teman, aku memantapkan hati untuk menyewa satu sepeda sendiri. Sepeda yang aku pilih, sebenarnya tidak terlalu besar dan tidak berat untuk ukuran orang dewasa, tapi lagi-lagi kemampuan bersepedaku yang masih abal-abal membuat aku sedikit kesulitan menggowes sepeda, tidak selincah dua temanku yang langsung akrab dengan sepeda sewaannya.
Percobaan pertama, aku belum berhasil, pedal sepedanya terus lolos dari jangkauan kakiku. Percobaan kedua, sepedaku mulai jalan sedikit. Dan di percobaan ketiga, akhirnya aku berhasil mengayuh pedal sepeda sedikit-demi sedikit, mengejar dua temanku yang sudah melaju duluan.
“Guys tunggu,” teriakku sembari terus menggowes sepeda. Aku berhasil mengejar mereka, yang memang sengaja memelankan laju sepedanya.
Kami menggowes sepeda bersama-sama, melewati jalan-jalan yang menawarkan pemandangan pohon dan udara segar yang terasa nyaman masuk ke paru-paruku, sesekali kami juga mampir untuk berfoto-foto, membeli minum dan ke beberapa tempat untuk melihat para satwa.
Semua berjalan dengan sangat menyenangkan, sebelum tiba-tiba ada dua orang pria bersepeda yang menghentikan laju sepeda kami, atau lebih tepatnya laju sepedaku sendiri. Karena dua temanku yang sudah lincah bermain sepeda, tentu saja dengan cepat berhasil melaju kembali setelah dihentikan oleh dua pria itu.
Kedua pria itu turun dari sepedanya, mendekatiku yang masih mode planga-plongo. Dari raut wajah serta gayanya, dua pria itu sepertinya berusia sebaya denganku.
“Kak, boleh tolong fotoin kita gak?” pinta salah satu dari mereka, sembari menyodorkan ponselnya padaku. Aku yang masih diambang bingung, menerima ponselnya begitu saja, sambil sesekali melihat ke arah temanku yang menunggu di ujung jalan, memberi kode yang tidak kupahami sama sekali.
“Udah ya kak?” tanyanya, yang kuanggap sebagai perintah untuk selesai memfoto mereka.
“Makasih ya, Kak,” katanya lagi dan aku hanya mengangguk sekilas, memberikan ponselnya dan langsung hendak pergi, tapi pria itu masih berdiri di sana. Keningku berkerling, "Ini orang kok gak minggir-minggir juga ya! Udahlah pura-pura gak tahu aja", pikirku waktu itu.
“Kak, boleh minta nomor ponselnya gak?” katanya tiba-tiba.
“Ha?” Aku memandang kembali ke arah temanku yang masih memberi kode. Oh... Jadi ini artinya. Tapi ... kalo mereka tahu dari awal, kenapa mereka kabur gak ngajak-ngajak? Kenapa mereka malah nungguin di situ aja, bukannya nyamperin dan ngajak aku pergi? Batinku.
Tanpa basa-basi, aku langsung mengayuh sepeda dengan kecepatan penuh, tidak peduli kalo sekarang aku berada di jalan yang menurun, tidak peduli akan skill sepedaku yang sudah mulai oleng dan tidak peduli pada mereka semua yang sudah membuatku dongkol. Tapi perlu diingat, hasil dari kemarahan tidaklah pernah berbuah manis, begitulah yang aku rasakan. Tepat setelah lima meter menjauh dari mereka, aku nyungsep dengan lutut yang mendarat duluan. Ah ... Tubuhku rasanya sakit semua, iya sakit, tapi sakit itu langsung tertutup akan rasa malu yang menggerayang hebat. Bagaimana tidak, semua pasang mata kini melihat ke arahku, bahkan dua pria menyebalkan tadi juga, ditambah lagi tepat setelah aku jatuh, satu kereta anak TK lewat, semua penumpang yang ada di dalam langsung melonggo keluar menatapku penuh iba.
Ah ... Malunya itu loh, tembus to the moon. Ingin rasanya punya kekuatan menghilang, atau pinjam pintu ke mana saja milik doraemon. Tapi apa daya, aku hanya manusia biasa, bukan manusia mutan yang punya kekuatan super.
Menyadari kenyataan itu, aku buru-buru bangkit, berlaga memasang tampang ‘i'm fine’. Dan langsung menggowes sepeda sejauh mungkin yang aku bisa. Sedangkan dari arah belakang dua temanku menyusul. Hingga jarakku sudah mencapai sepuluh meter dari mereka, barulah aku menghentikan laju sepedaku.
“Dua orang itu, dari tadi tahu ngikutin kita. Makanya aku langsung kabur pas ada mereka,” kata Devin memberitahu.
Ah, mereka benar-benar sudah tahu.... Aku menghela nafas, bingung harus marah, kesal atau apa.
0 comments:
Post a Comment