Suasana dini hari begitu dingin,
pemandangan gelap gulita karena matahari belum tampak. Para santri di Pesantren
Tahfiz Quran Terpadu Al-Hikmah Cirebon mulai dibangunkan untuk salat tahajud.
Aku dan teman-teman sekamarku dibangunkan oleh musyrifah pada pukul 03.30 WIB.
Musyrifah adalah kakak pembimbing di setiap kamar. Biasanya satu kamar terdiri
dari satu atau dua musyrifah. Musyrifah di kamar kami Kak Hilma namanya. Entah
mengapa pada saat itu aku merasa lelah sekali. Aku bangun paling akhir, Kak
Hilma membangunkanku paling lama dibanding temanku yang lain. Tapi akhirnya aku
bangun juga dengan tubuh yang berasa sakit semua.
Aku
beranjak ke kamar mandi. Seperti biasa, sebelum masuk kamar mandi kami harus
mengantre. Tubuhku saat itu rasanya tak karuan, tapi aku paksakan. Kupikir itu
wajar karena kemarin kegiatannya sangat padat. Aku rasa aku hanya kelelahan. Kini
tiba saatnya aku memasuki kamar mandi. Aku ingin buang air kecil. Belum sampai
menutup pintu, tiba-tiba saja penglihatanku buram, kepalaku pusing. Lalu, aku
tidak sadar. Beberapa menit kemudian, terdengar suara beberapa orang yang
panik. Aku merasakan pipiku dingin dan basah. Aku tidak ingat bahwa saat itu
aku sedang di kamar mandi, kukira aku jatuh dari tempat tidur, rupanya aku
pingsan di kamar mandi. Aku berusaha bangun dan dibantu beberapa santri yang
ada di sana. Mereka bertanya apakah aku baik-baik saja, tapi aku tidak
menghiraukannya. Entahlah, perasaanku tak karuan saat itu. Aku ingin buang air
kecil. Aku masuk ke kamar mandi lagi, dan hal yang sama terulang kembali. Ya,
aku pingsan lagi!
Terdengar
suara-suara santri yang berada di sana. Sepertinya mereka panik.
“Ya Allah, sampai dua kali …”
“Nggak apa-apa, Kak?”
Aku
bangun dan menyadari bahwa telah dua kali berturut-turut pingsan. Namun, tidak
tahu mengapa yang kupikirkan saat itu adalah aku ingin buang air kecil. Aku
kembali masuk kamar mandi, dan kembali pingsan. Sampai tiga kali berturut-turut
aku pingsan pada saat itu. Beberapa santri yang berada di sana semakin panik.
Ketika aku bangun, salah satu dari mereka memutuskan untuk menuntunku ke kamar.
Dua orang yang membantuku berjalan. Tapi, ketika aku sudah meraih pundak mereka
yang menuntunku, aku pingsan lagi! pingsan untuk yang keempat kalinya. Akhirnya
mereka memutuskan untuk menggotongku sampai kamar. Di kamar, aku direbahkan di
kasur. Tubuhku seperti tidak bertulang, lemas sekali. Kepala sangat pusing,
pikiran tidak karuan. Mereka yang mengantarku tadi pamit untuk bersiap-siap ke
masjid karena takut terlambat. Aku memejamkan mata, berusaha untuk tidur.
Azan
subuh berkumandang, aku belum bisa tidur, hanya memejamkan mata. Temanku datang
membangunkanku untuk salat. Dia sedang haid, jadi tidak ke masjid.
“Jofan, salat dulu, yuk! Pusing
banget ya? Tayamum aja, salat sambil tiduran.”
Aku
tayamum lalu salat sembari tiduran. Setelah selesai, temanku tadi berangkat ke
tempat tahfiz. Tahfiz adalah kegiatan menyetorkan hafalan Al-Qur’an atau
mengulanginya agar hafalan semakin kuat kepada Ustadz/ah. Di pesantren kami,
tahfiz tetap wajib bagi santri yang sedang haid. Guru kami mengatakan bahwa
boleh menyetorkan hafalan Al-Qur-an walau haid asalkan Al-Qur-an yang dibaca
adalah Al-Qur-an terjemahan. Kata beliau, kalau dengan niat menjaga hafalan
Al-Qur’an agar tidak hilang atau lupa itu tidak apa-apa.
Aku
kembali berusaha untuk tidur. Kepalaku sakit sekali, membuat sulit tidur. Ini
pertama kalinya aku merasakan sakit di pesantren. Sungguh tidak enak. Aku
merindukan orang tua di rumah. Biasanya Ibu selalu sigap ketika aku sakit,
menemani sepanjang malam. Saat sakit di pesantren, aku sendirian, santri lain
sibuk dengan kegiatannya, Ustadzah belum ada satu pun yang datang. Aku hanya
bisa berbaring memejamkan mata berusaha untuk tidur.
Sampai
jam tahfidz usai, aku tidak kunjung tertidur. Salah satu temanku membawakanku
sarapan. Dia menaruh makanannya di samping tempat tidurku, lalu pergi untuk
bersiap-siap berangkat sekolah. Aku hanya diam memejamkan mata sembari teringat
orang tua di rumah. Beberapa saat kemudian, semua santri sudah berangkat ke
sekolah. Tinggal aku sendirian. Aku bangun dan memakan sarapan itu. Setelah
selesai, aku ingin ke kamar mandi untuk mencuci tangan, mencuci piring, dan
buang air kecil. Iya, sedari dini hari tadi, aku belum buang air kecil. Aku
sendirian, tidak ada yang bisa mengantarku ke kamar mandi. Aku sangat takut
jika nanti pingsan lagi di kamar mandi. Siapa yang akan menolong, pikirku. Tapi,
karena rasa ingin buang air kecil yang tidak bisa tertahankan lagi, aku
paksakan untuk berjalan ke kamar mandi.
Alhamdulilah,
aku bisa kembali ke kamar dengan selamat. Karena rasa pusing yang sangat hebat,
aku kembali merebahkan diri di kasur. Kembali berusaha untuk tidur. Akhirnya
aku bisa tertidur dengan lelap. Tidak lama kemudian, sekitar jam 10.00 WIB, Ustadzah
datang dan membangunkanku. Baru saja aku bisa tertidur lelap, eh ada yang
membangunkan, agak kesal memang, tapi ini kesempatanku untuk meminta
diperiksakan ke dokter. Beliau menanyakan keadaanku, dan mengatakan bahwa
besok, aku akan diantar ke puskesmas. Ustadz atau ustadzah di pesantren kami
sedikit, dan pada saat itu mereka seluruhnya sedang ada kesibukan, jadi tidak
ada yang mengantarkanku ke puskesmas saat itu. Di sana ada fasilitas kesehatan
bernama POSKESTREN (Posko Kesehatan Pesantren) tetapi masih belum berfungsi
dengan baik pada saat itu, sehingga aku hanya diberikan obat seperti
parasetamol dan vitamin lalu dianjurkan untuk beristirahat, baru kemudian
keesokan harinya aku dibawa ke puskesmas.
Itulah pengalamanku ketika pertama kalinya sakit di pesantren. Bayangkan saja, baru pertama kali sakit di pesantren, sudah pingsan hingga empat kali berturut-turut. Sakit di pesantren sangat tidak enak. Aku kesepian dan rindu suasana rumah. rindu Ibu yang menemaniku sepanjang malam dengan pijatan-pijatan lembutnya, dan rindu Ayah yang menghiburku dengan cerita-cerita lucunya. Suasana keluarga yang hangat menjadi obat termanjur dari segala penyakit. Aku merindukan itu.
0 comments:
Post a Comment