Saat jasadku terbujur kaku, saat sepasang mataku terpejam, saat itulah oase semu hidupku tercabut. Duhai dunia fana! Betapa sedikitnya bekal untuk menggapai Ilahi. Ruhku terbangun saat sukmaku tak lagi di sana. Tangis siapa yang mampu kuingat? Doa-doaku menjadi untaian perkataan belaka. Saat tawaku menjadi peluncur tangis, saat bahagiaku bukanlah telaga yang menyejukkan. Aku telah berakhir di sini, bersama tangis-tangis penyesalan. Malaikat Izrail telah menarik jiwaku bersamaan dengan teriakan-teriakan nelangsa memecah keheningan malam. Ragaku terbakar bak kulitku dikupas tanpa ampun. Adakah makhluk yang mampu mendengar isakku ini? Aku yang memohon-mohon tanpa jemu, tolong lepaskan aku! Bagai ujung duri pedih yang merasuk menusuk tiap-tiap raga penuh dosaku, sakit, namun tak mampu kubagi dengan seorang karib pun.
Apalah arti wajah rupawan kala Tuhan melaknatnya? Kala malaikat maut mencabiknya tanpa ampun, menggores rupa sempurna yang kau banggakan. Apa artinya kawan?
Duhai keluarga yang kucinta! Mengapa kah kalian tega mencampakanku dalam tanah gersang yang menakutkan? Kala gundukkan tanah itu menutup, kala derap langkah para insan berlalu. Tuhan, aku ingin menjerit meminta mereka tuk kembali. Bawa mereka padaku … jangan tinggalkan aku … jangan campakan aku ….
Apalah arti duniaku yang singkat. Tempat ini mengisolasiku sendiri. Mengapa sesal selalu terlambat datang? Mengapa kenyataan dan takdir membuatku terjerembab jatuh ke dalam kesia-siaan
Catatan ajal, kala jasadku berbicara, kala mereka bukan milikku lagi, kala mereka tak lagi di pihakku. Terkadang mencelakakan mengundang lecutan kasar sang malaikat merobekan kulit –kulit hangus. Tuhan bantu aku … jangan Kau terlantarkan aku … Tuhan, terimalah rasa sesalku … inilah catatan ajalku, berakhir menyisihkan kepiluan.
_________________________________________
Fathim, anak gadisku terbaring lemah di ruangan besar berbau obat. Selang infus tertaut di tangannya. Dia telah mengalami pengalaman pahit dalam hidupnya. Sebuah sepeda motor hilang kendali hingga tubuh Fathim terhantam keras. Saat itu darah mengalir dari beberapa bagian tubuhnya. Siapa pun yang melihat, mendekat seketika. Mereka berbondong-bondong membawa gadis 12 tahun itu ke rumah sakit.
Saat itu aku sedang tertidur lelap dengan televisi masih menyala. Telepon tak henti-hentinya berdering hingga terpaksa lah aku bangun mengangkatnya. Sembari mendengus kesal aku berbicara. Karena watak beringasku, ketika kabar Fathim masuk rumah sakit, aku kesal. Fathim, mengapa kau ini? Mengapa harus tertabrak? Aduh … merepotkan orang saja!
Tulang lengan kirinya patah, wajahnya ada luka jahitan. Setiap malam Fathim merintih membuatku tidak bisa tidur.
“Hei, diamlah! Mengganggu saja”
Kawan, apa pendapatmu tentang aku? Keras? Jahat? Iya memang. Tega sekali kepada anak sendiri. Begitulah aku. Jika kau tanya kemana isteriku? Jawabannya entahlah. Jika kau tanya mengapa aku begini? Jawabannya adalah gara-gara isteriku. Iya, aku frustrasi dengan perginya isteriku tanpa sebab. Sudahlah kawan, tak usah kau ingat lagi.
“Pak, Bapak … shalat, Pak … sudah adzan. Bangun, Pak …” suara Fathim lemah.
“Aduuh … Fathim! Kenapa sih, mengganggu Bapak tidur saja! Dari tadi malam Bapak belum tidur, rintihanmu berisik! Sudah, jangan ganggu, bapak mau tidur!”
“Shalat, Pak …”
“Shalat? Buat apa shalat? Dari kecil Bapak shalat, apa hasilnya? Yang ada malah sengsara. Ibumu pergi, kau sakit, memang shalat bisa membantu?”
“Bisa, Pak, semoga aku bisa sembuh, Pak, Bapak mau kan aku sembuh?”
“Sembuh? Yang membuat sembuh itu obat, dokter, bukan shalat. kau shalatlah sendiri!”
Mata Fathim berkaca-kaca. Dengan menahan sakit, ia bertayamum lalu shalat sambil berbaring. Setelah itu ia membacakan hafalan ayat-ayat Al – Qur’an dengan merdu dan fasih. Sambil berpura – pura tidur aku terus menyimak. Dahulu, aku yang mengajarinya menghafal dan membaca Al –Qur’an. Hingga ibunya pergi entah kemana, frustrasiku mengalahkan segalanya.
Berhari-hari di rumah sakit, bosan sekali rasanya. Aku ingin pergi. Biarlah Fathim sendiri. Toh tinggal panggil suster saja jika butuh. Aku pegi tanpa sepengetahuan Fathim. Motor kukemudikan dengan kencang, melaju melewati ramai kendaraan. Aku masuk gang sempit, bersusah payah melawan becek. Gang itu memang panjang. Kawan, tahukah kau kemana tujuanku?
Lelaki berbagai umur sedang berkumpul di warung gelap. Berisik sekali. Aku mendekat, menarik untuk bergabung. Nikmatnya bau dari puluhan botol di tengah-tengah mereka membuatku meminumnya. Sungguh lezat. Sensasi luarbiasa mulai terasa. Semuanya berputar, melayang di udara.
Gang – gang panjang tadi ku lewati lagi. Sensasi melayang tadi masih terasa. Mobil-mobil besar terombang-ambing di udara, mengarah seperti terus mengejarku. Aku menghindar, membelokan motorku sekaligus, dan membentur sebuah pohon besar. Seketika itu rasa sakit mencekam seluruh tubuh. Sungguh sakit! Seakan seribu tusukan pedang merobek seluruh urat – uratku. Aku melihat sosok hitam besar dengan wajah murka mendekat, membawa tongkat besar panjang. Nafasku memburu. Semakin dekat, aku semakin tercekat. Nafasku tersengal-sengal. Ia menarik ubun-ubunku, bersusahpayah mengeluarkan ruhku. Nafasku putus. Rupanya nafas tersenga-sengal itu adalah nafas terakhirku. Rasa sakit masih terasa. Kawan, jika engkau tahu betapa sakitnya, engkau akan selalu dihantui rasa takut mati.
_________________________________
Duhai Allah, benarlah janjimu. Sungguh sakit mati itu. Aku tak berdaya hanya bisa merintih dalam hati. Suara pun sudah tak kuat menahan pedih hingga tidak bisa dikeluarkan. Raga terkunci tidak bisa berjaya lagi, terbujur kaku dalam gundukkan tanah liat bau. Semua kekuatan, kejayaan, kekuasaan telah pergi meninggalkan. Sudah tak ada lagi harapan, tak ada ampunan. Sungguh penyesalan kini datang tak bisa lagi dielakkan. Duhai jiwa dan ragaku, apa yang telah kita lakukan di dunia? Bekal apa yang telah siap kita pakai kini? Tidak ada. Hanya dosa – dosa melumuri seluruh kehidupan ini.
Sungguh celaka! Malaikat itu datang lagi! Dia membawa cambuk siap mencabik – cabik wajah ini. Dia mendekat, semakin mendekat … mengangkat cambuknya, mengarah wajahku … telah siap dengan berbagai siksaannya. Aku takut, takut sekali ….
“Berhentilah wahai malaikat, jangan siksa dia!”
Duhai Allah, mengapa? Suara apa itu? Malaikat itu pun pergi. Lalu aku mendengar suara samar –samar. Iya, itu dia, suara Fathim sedang mengaji! Kubur menjadi bercahaya. Segala yang menghimpitku menjadi longgar. Sejuk. Aku merasa sejuk. Lirih, terdengar suara tangis Fathim begitu lirih. Ia mengucap dengan penuh harap
“Ya Allah … tolong … jangan Engkau azab Bapak … ampuni Bapak …”
Terima kasih anakku … terima kasih engkau masih mengingat bapakmu ….
0 comments:
Post a Comment