UNS telah terlewati, tanpa satu hal pun yang membuatku tertarik. Tentu saja karena aku tertidur. Hanya meninggalkan kesan memalukan. Mungkin jika ada yang melihatku, dia menahan tawanya sekeras mungkin. Namun berbeda ketika di UII. Aku tertarik dengan Fakultas Ilmu Agama Islam. Sepertinya menarik. Aku mendengarkan penjelasan hingga akhir. Tetap saja banyak yang tidak ku mengerti. Tetapi aku semakin penasaran. Sepulang dari sana aku terus mencari tahu.
Berbagai blog, artikel, dan bacaan ku telusuri. Barulah aku paham istilah prodi, jurusan, dan fakultas. Fakultas Ilmu Agama Islam ternyata memiliki beberapa prodi. Dan seluruhnya tidak ada yang menarik minatku. Entahlah, aku tidak tahu jurusan apa yang membuatku tertarik. Aku tidak tahu akan kuliah di mana.
Mentari telah bersinar sempurna. Aku akan berangkat ke sekolah. Oh iya, kawan, aku lupa memberi tahu. Aku tinggal di Pesantren Al-Hikmah Cirebon dan bersekolah di Madrasah Aliyah Al-Hikmah Cirebon. Dari asrama ke sekolah jaraknya sangat dekat. Masih satu kawasan. Kami hanya berjalan kaki. Seperti biasa, aku lebih memilih untuk berangkat sekolah seorang diri, entah. Rasanya lebih nyaman berjalan sendirian. Aku berjalan di belakang beberapa temanku. Mereka mengobrol sepanjang perjalanan. Jarakku dengan mereka tak jauh sehingga obrolan terdengar jelas. “Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir” itu salah satu yang mereka bicarakan. Apa itu? Aku sungguh penasaran. Ternyata itu merupakan salah satu prodi di Fakultas Ushuluddin. Aku langsung terpikat. Lagi-lagi aku mengumpulkan info. Mencari-cari penjelasan detail tentang prodi itu.
Akhirnya aku telah mengumpulkan info cukup lengkap. Dan Universitas pilihanku adalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mengapa? Karena kupikir, di pesantren ini, aku sudah terbiasa menghafal Al-Qur’an dan telah memiliki sedikit hafalan. Dengan masuk prodi itu, setiap hari mempelajari Al-Qur’an, kuharap hafalanku itu tidak terlupakan dan semakin berlanjut. Alasan lainnya adalah aku ingin lebih mendalami makna dan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Oh betapa senangnya. Aku senang karena telah memiliki jurusan impian dan universitas pilihan.
Bulan telah berkali-kali berganti. Kini aku telah duduk di kelas 12. Kelas akhir di masa sekolah. Artinya kurang dari satu tahun lagi aku akan kuliah. Tentu saja berbagai macam ujian seleksi masuk universitas harus kuhadapi. Belum lagi ujian-ujian di kelas 12. UN dan teman-temannya. Aku harus bersiap. Bersiap kalau saja nanti mendapat kegagalan. Ambisi untuk selalu menang memang tak bisa dihindari. Yang terpenting sediakan tempat yang luas untuk menerima ketika kegagalan datang menghampiri.
Karena jurusan impianku adalah Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, tentu jalur masuknya bukan seperti jurusan umum lain, SNMPTN dan SBMPTN. Jalur masuk yang bisa ditempuh adalah SPANPTKIN, UMPTKIN dan jalur mandiri. Itu membuatku tidak tertarik sama sekali untuk mengikuti SNMPTN dan SBMPTN. Untuk apa? Tidak ada jurusan impianku di sana. Pun karena aku menyadari selama di sekolah, dalam pelajaran umum dan eksak, nilaiku tidak terlalu baik.
Minggu pagi, kedua orangtuaku datang menjenguk. Aku bercerita tentang jurusan impianku dan jalur masuknya. Dan aku menyampaikan bahwa aku tidak ingin mengikuti SNMPTN dan SBMPTN. Ternyata, pandangan orangtuaku berbanding terbalik dengan keinginanku. Mereka mendukung jurusan impianku, tetapi mereka juga menyarankan untuk ikut semua jalur. SNMPTN dan SBMPTN. Iya, pilihan orangtua memang yang terbaik, bukan? Tentu. Aku berpikir lagi, kalau aku hanya mengikuti SPANPTKIN dan UMPTKIN, bagaimana jika tidak lulus keduanya? Tentu harus ada cadangan. Kesempatan untuk ikut SNMPTN dan SBMPTN tidak boleh terlewatkan begitu saja. Iya benar. Pendapat orangtuaku memang yang terbaik. Oke, aku setuju. Tetapi masalahnya, aku harus mencari lagi jurusan impian yang lain. Jurusan umum yang jalur masuknya SNMPTN dan SBMPTN.
Kawan, tentu kalian tahu kan Saintek dan soshum? Aku bersekolah di Madrasah Aliyah dan jurusannya adalah Matematika Ilmu Alam. Atau dengan kata lain jurusan IPA. Sedangkan seperti aku tuliskan di atas, nilai pelajaran eksakku di bawah. Dan jujur saja selama di MA ini, hanya sedikit yang aku paham. Kenyataan itu membuatku mundur untuk mengambil saintek untuk SNMPTN dan SBMPTN. Aku merasa tidak mampu. Aku lebih memilih soshum. Semoga itu lebih baik. Tentu saja aku lintas jurusan dan harus belajar mulai dari nol. Dan autodidak. Setidaknya soshum lebih mudah dipelajari dengan autodidak.
Untuk referensi, aku membeli buku “The King SBMPTN Soshum 2019” seharga Rp215.000. Mahal memang, tetapi demi ilmu tak mengapa. Dan aku membelinya tanpa memberi tahu orang tua. Murni menggunakan uang jajanku sendiri. Ketika baru pertama kali kubaca materi soshumnya, benar-benar asing. Kecuali materi umum seperti Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Belum ada yang telah kupelajari sebelumnya. Tetapi aku yakin akan mengerti jika dipelajari, dibaca berulang kali, dan mulai latihan soal. Sayangnya waktu belajarnya bentrok dengan belajar untuk di sekolah. Belajar untuk UN, US, dan UAMBN. Karena materinya memang beda. IPA untuk sekolah, IPS untuk masuk kuliah. Dan juga untuk ujian di pesantren. Karena program pesantrenku adalah menghafal Al-Qur’an, tentu ada ujian-ujian untuk lebih memutqinkan hafalan. Agar hafalan tidak cepat lupa. Belum lagi kegiatan-kegiatan pesantren lainnya. Di sini, di saat ini kami sebagai santri kelas 12, harus benar-benar pandai mengatur waktu. Banyak target-target yang harus dicapai.
Aku menemukan jurusan umum yang menarik minatku, yaitu Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta atau UNJ. Karena aku sangat menyukai dunia literasi. Bakatku ada dalam dunia menulis. Aku sangat suka. Membuatku semakin rajin belajar mandiri. Referensiku hanya satu, yaitu buku mahal tadi. Karena cukup sulit mencari referensi lain. Karena aku tingal di lingkungan IPA, teman-temanku lebih banyak memilih saintek, dan di sekolah diajarkan IPA, tidak ada IPS. Hanya aku yang lintas jurusan. Semua teman sekelasku memilih saintek. Tidak apa-apa. Tidak masalah. Guru-guru lebih menyarankan kami untuk mengambil saintek. Bahkan banyak mengadakan simulasi SBMPTN saintek. Tentu saja. Dan aku ikut. Tak disangka, di salah satunya aku mendapatkan nilai terbesar di kelasku. Ah itu hanya kebetulan saja.
Aku lebih suka mempelajari materi untuk SBMPTN dibanding materi untuk UN dan US. Lebih suka IPS dibanding IPA. Membuatku lebih mengutamakan belajar untuk SBMPTN daripada untuk UN dan US. Aku tidak terlalu mementingkan nilai UN dan US. Karena menurutku, dengan nilai UN dan US kecil, masih tetap bisa lulus karena yang menentukan itu sekolah. Tetapi jika nilai SBMPTN kecil, sudah pasti tidak akan diterima di PTN. Karena saingan SBMPTN itu ribuan, dan yang nilainya besar itu sangat banyak. Kawan, jangan terpengaruh oleh pendapatku tadi ya. Jangan remehkan nilai UN.
Tetapi sayangnya banyak materi soshum yang tidak kumengerti. Dan tidak ada yang bisa menjelaskanku materinya. Tidak ada yang bisa menjadi guruku. Dan karena di pesantren tidak boleh membawa alat elektronik, membuatku tidak bisa mengakses internet. Jadi, terpaksalah materi itu terlewat. Aku benar-benar tidak mengerti. Dan itu banyak. Sayang sekali.
Saatnya pendaftaran SNMPTN. Aku mendaftar. Dan setelah menunggu satu bulan pengumumannya, aku dinyatakan tidak lolos. Aku masih merasa tenang karena jalur masuk masih banyak. Masih banyak kesempatan. Kurang dari satu bulan setelahnya, ada pendaftaran SPANPTKIN. Aku mendaftar lagi. dan tidak lolos lagi. Hanya tinggal 2 kesempatan. Oke, aku lanjut belajar lagi. selain belajar untuk SBMPTN dan UN, aku pun mulai belajar untuk UMPTKIN. Jujur aku tidak tahu materi apa yang harus dipelajari untuk UMPTKIN. Hanya kemungkinan, menebak-nebak. Mungkin materi-materi keagamaan. Cocok karena sekolahku adalah Madrasah Aliyah.
Akhir kelas 12, UN, US, dan UAMBN telah terlewati. Bahagia rasanya. Tetapi bukan berarti bisa fokus untuk persiapan masuk PTN, tanggungjawabku besar sekali karena memikul hafalan Al-Qur’an. Aku tidak boleh melupakannya. Dan perlu usaha keras untuk mempertahankan hafalan Al-Qur’an itu. Lama kelamaan, fokusku diprioritaskan untuk mempertahankan hafalan. Waktu untuk belajar lebih dipersempit. Sebenarnya sungguh berat. Tetapi demi Allah dan Al-Qur’an aku harus mampu.
Saatnya UTBK. Yaitu Ujian Tulis Berbasis Komputer. Ini sebagai syarat untuk SBMPTN. Hasil nilai UTBK nanti yang akan diseleksi dalam SBMPTN. Aku mengikuti UTBK di Jakarta. Tepatnya di kampus UIN Jakarta. Oh ini adalah kampus impianku yang pertama. Tetapi entah mengapa aku menjadi lebih memilih Sastra Indonesia di UNJ daripada Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di UIN Jakarta. Namun tetap UIN Jakarta juga merupakan kampus impianku. Aku diantar oleh keluarga ke Jakarta.
Beberapa lama setelahnya, pengumuman nilai UTBK keluar. Aku mendapatkan nilai lima ratusan lebih. Entah itu tinggi atau rendah. Karena tidak ada nilai pasti dalam SBMPTN. Tetapi kuanggap itu rendah. Timbul rasa penyesalan karena kurang optimal belajar. Memang seperti itu, sudah biasa, penyesalan memang ada di akhir. Beberapa bulan kemudian kami lulus dari MA Al-Hikmah dan Pesantren Al-Hikmah. Nilai UNku juga rendah, tidak tinggi. Tak mengapa. Lalu aku pulang.
Aku diam di rumah lama sekali. Hingga aku mengikuti UMPTKIN yang juga di UIN Jakarta. Diantar oleh keluargaku tercinta. Soalnya memang benar soal tentang keagamaan dan ada sedikit matematika. Di sini aku sangat percaya diri bisa diterima. Menurutku soalnya tidak terlalu sulit, banyak yang bisa diselesaikan dengan mudah. Semoga lulus, doaku di akhir ujian.
Hari ini benar-benar mendebarkan. Nanti sore sekitar jam empat adalah pengumuman SBMPTN. Aku benar-benar berharap bisa lulus. Oh Allah, tolonglah … doaku setelah sholat ashar. Tepat jam empat sore, aku membuka lamannya. Dan di sana tertulis “MOHON MAAF” oh betapa sedihnya … tapi aku tidak mau menangis. Bukankah sudah kutulis di awal, kawan, kita harus menyediakan tempat yang luas untuk kegagalan? Iya, biar sebagian hatiku ditempati oleh kegagalan. Biar aku selalu ingat bahwa aku pernah gagal, dan aku berani bangkit. Tidakkah kau perhatikan, kawan, berapa kali aku mendapatkan gagal? Tiga kali. Gagal SNMPTN, SPANPTKIN, dan kali ini SBMPTN. Mereka telah menempati sebagian besar hatiku. Aku juga telah mengikuti Ujian Mandiri untuk masuk UNJ, dan gagal lagi. Berarti empat kali kegagalan telah kusambut.
Tinggal satu kesempatan lagi, yaitu UMPTKIN. Tinggal menunggu pengumuman. Dan jika itu gagal, entah aku tidak tahu akan kuliah di mana. Ya Allah, bukankah tujuanku mulia? Aku akan mempelajari Kalam-Mu, Al-Qur’an-Mu. Tolong izinkan aku. Dan ternyata Allah punya rencana lain. Iya, lagi-lagi aku tidak lulus. Gagal untuk yang kelima kalinya. Entah aku akan kuliah di mana. Aku merasa bersalah karena telah membuat pusing kedua orangtuaku. Oh sebegitunya aku ini, tidak masuk satu pun dari empat jalur itu. Aku tidak marah sebenarnya. Tidak kesal juga akan nasib. Justru aku merasa bersalah. Merasa bersalah karena tidak maksimal belajar. Merasa bersalah telah merepotkan orangtua, keluarga, membuat mereka pusing memikirkan masa depanku. Tidak tahu lagi apa solusinya. Sebenarnya ada satu jalur masuk lagi di jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di UIN Jakarta, yaitu jalur mandiri. Tetapi sayangnya sudah tutup pendaftarannya. Telat.
Tahukah kawan, rencana Allah itu memang yang terbaik. Dia tidak mengizinkanku masuk di UIN Jakarta, tetapi menggantinya dengan Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta. Aku berhasil masuk ke sana. Iya, diterima! Mungkin di PTIQ lebih mengkhususkan dan mewajibkan hafalan Al-Qur’an. Dan kuliahnya pun lebih fokus ke ilmu Al-Qur’annya. Allah lebih meridhoiku untuk menghafal Al-Qur’an sembari kuliah di sana. Iya, walau pun swasta tidak mengapa. Bayarannya pun tidak mahal.
Tetapi masih ada saja masalahnya. Sebelum diterima di PTIQ pun aku mendapatkan kegagalan lagi. Gagal untuk yang keenam kalinya. Namun kegagalan kali ini bukan berarti tidak diterima, tetapi gagal masuk jurusan yang aku pilih. Aku memilih jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, tetapi tidak diterima. Dialihkan kejurusan lain. Kenapa? Karena aku tidak bisa dan tidak mengerti sama sekali kitab kuning. Syarat wajib masuk jurusan itu adalah paham kitab kuning. Aku tidak paham karena belum pernah belajar sebelumnya. Lalu aku disuruh memilih jurusan lain di fakultas lain. Dan aku memilih Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah. Sejujurnya aku belum mengetahui lebih dalam tentang jurusan itu. Entah, tiba-tiba saja hatiku mengatakan itu. Alhamdulillah Allah meridhoi walau bukan di jurusan impianku. Justru di jurusan yang tidak ada satu pun dari daftar mimpiku. Benar-benar tidak diimpikan, tidak direncanakan.
Rencana Allah memang yang terbaik. Setelah satu tahun berlalu, aku lebih memahami jurusan itu, dan telah mencari tahu prospek kerjanya. Ternyata jurusan itu berhubungan juga dengan hobiku, yaitu menulis. Diantara prospek kerjanya adalah jurnalis dan penulis. Mata kuliahnya pun sangat menarik minatku. Alhamdulillah aku senang telah diizinkan kuliah di sini, di jurusan ini. MaasyaAllah … kawan, rencana Allah itu yang terbaik. Allah tidak mengizinkanku kuliah di UNJ karena agar aku tidak jauh dari Al-Qur’an, Allah tidak mengizinkanku kuliah di UIN karena di sana tidak dikhususkan untuk menghafal Al-Qur’an, Allah lebih meridhoiku di jurusan Komunikasi Penyiaran Islam daripada Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir karena lebih sesuai minat bakatku, dan Allah meridhoiku di Institut PTIQ Jakarta agar aku terus menghafal Al-Qur’an dan mempertahankan hafalan. Allah ingin waktuku lebih banyak terpakai untuk Kalam-Nya. Dan Allah tidak ingin aku melupakan hobiku, yaitu menulis. Ingat kawan, seluruhnya pasti ada hikmahnya. Dan selalu berprasangka baik kepada Allah Karena rencana-Nya memang yang terbaik.
0 comments:
Post a Comment