Perlahan namun pasti, kumulai tugasku. Aroma khas tanah langsung menyeruap ke permukaan yang segera aku hirup dalam-dalam. Seperti biasa, lagi-lagi hanya bau tanah yang selalu setia menemaniku.
Aku tersenyum puas, setelah berhasil menyelesaikan tugasku ini. Bagiku semua ini adalah bagian dari hidupku.
"Setiap hari hanya itu-itu saja yang kau lakukan!"
Suara itu membuatku langsung menengadah ke atas, karena aku tahu hanya burung Rajawali-lah yang sudi menyapaku.
“Karena hanya ini yang bisa aku lakukan,” sahutku.
"Apa yang kau lakukan ? Menggembur tanah sepanjang hari? Apa kau tak bosan selalu bersembunyi di bawah tanah? Tidakkah kau ingin melihat indahnya alam ini?" Rajawali menepi, bertengger di batang pohon yang hampir reok.
"Tidak," jawabku singkat.
Rajawali terlihat tidak puas dengan jawabanku barusan.
“Kenapa?" tanyanya lagi.
"Karena di sinilah duniaku, dan bagiku ini sudah lebih dari cukup."
Lagi-lagi Rajawali melemparkan tatapan tak percaya, yang kubalas senyum simpul.
“Apanya yang cukup? Bau tanah yang menyengat? Itu yang katanya cukup! Cobalah untuk melihat dunia. Alam ini sangat indah, kau hanya perlu sedikit keberanian!"
“Terkadang antara berani dan nekat itu beda tipis. Aku hanya tak ingin menerobos apa yang memang tidak di takdirkan untukku. Tempatku di sini, begitulah caraku mengikuti takdirku."
"Tapi bagaimana bisa kau berkata jika ini takdir untukmu? Bahkan kau belum pernah mencoba!"
"Aku pernah mencoba karena itu aku tahu."
Rajawali terdiam, ia menatapku penuh tanda tanya. Aku tersenyum lebar, sepertinya kisah ini akan panjang.
Matahari terbit, sinar orange-nya langsung memenuhi kelopak mataku, aku merentangkan tubuh mungilku, menggeliat di atas dahan pohon yang semalam aku panjat dengan susah payah.
Aku tersenyum, suara para burung menyapa pendengaranku, nyanyian mereka membuat aku benar-benar merasakan hidup yang sesungguhnya. Ya! aku hidup. Tidak ada bau tanah, tidak ada kegelapan, tidak ada kesepian, di sini semua benar-benar hidup. Aku cacing tanah yang bebas! I'm Free! Dunia, i'm coming!
Dunia harus tahu aku bukan lagi cacing yang bertugas menggembur tanah, tapi aku cacing yang akan bertualang mengejar duniaku.
"Selamat pagi, Pipit."
Burung Pipit itu menoleh, aku sangat menikmati ekspresi terkejut yang makhluk bersayap itu tampilkan.
“Hari yang cerah bukan ....” kataku berbasa-basi riang.
"Mungkin," jawabnya pelan. Masih syok dengan keberadaanku di sini, di atas pohon, sejajar dengannya.
"Kalo begitu, nice day for you," kataku mengakhiri dengan senyum mengejek.
"Sepertinya hari ini akan indah untukku, tapi aku tak tahu bagaimana dengan hari mu, karena hari ini aku rasa akan banyak burung jalak yang datang," balasnya membuatku menoleh kearahnya dengan kening berkerut, entahlah, apa cacing tanah juga berhak menggunakan ekspresi ini selayaknya manusia?
Yang jelas, aku sangat kaget mendengar kabar itu dan aku tidak tahu bagaimana menggambarkan ekspresi bingung plus kaget yang tepat.
"Burung jalak? "
“Ya! Burung pemakan serangga dan cacing. Jadi berhati-hatilah cacing kecil."
Burung itu mengepakkan sayapnya dan mulai terbang ke langit, meninggalkan aku yang sedikit ketakutan. Seketika aku teringat nenekku, nasihatnya tergiang di kepala kecilku.
”Kita memang terlihat menjijikkan tapi tugas yang kita emban sangat mulia, berkat bantuan kita para hewan bisa menikmati rerumputan yang segar dan manusia bisa menikmati beragam sayuran-sayuran.”
Aku menghembus nafas kasar. Bohong! Tugas mulia? Selamanya aku akan menjadi makhluk menjijikkan jika terus berada di bawah tanah! Tak akan ada yang tahu siapa aku! Semua orang hanya akan mengenalku sebagai cacing tanah.
Tidak! Aku tak akan kembali. Titik. Aku hanya perlu memutar otak dan menyingkirkan predator-predator itu, hanya itu. Semua akan beres dan aku punya sebuah ide cemerlang.
Dengan berani aku dekati gerombolan burung jalak itu.
"Hay!" pekikku lantang. Mereka semua menoleh dan layaknya predator yang melihat mangsa, mereka semua mendekat kearahku.
"Jarang-jarang ada mangsa yang datang sendiri tanpa di cari," kata salah satu di antara gerombolan itu.
“T-tunggu dulu!" Aku beringsut mundur, meski nyaliku besar, tetap saja aku hanya cacing.
"B—bukankah kalian lapar? Kalian tak akan kenyang dengan memakanku. Aku punya penawaran yang lebih menarik!"
Perkataanku barusan seketika membuat otak kecil mereka mulai bergerak, mungkin ... yang jelas mereka semua nampak tertarik.
"T-tapi sebelum itu kalian harus berjanji untuk tidak akan pernah memakanku meski kalian bertemu aku lagi!" Dan sepertinya mereka semua mengangguk. "Kalo begitu ayo ikuti aku ke tempat rahasia."
Aku dan segerombolan burung jalak itu mulai menyusuri hutan sebelah barat. Di dekat sana ada sawah penduduk, banyak tanaman yang bisa di makan oleh mereka. Aku tahu tempat itu karena dulu aku sering menggembur tanah di sana bersama nenek.
"Makanlah semua yang ada di sini! Tugas ku telah selesai!"
Mereka mengangguk dan langsung menyerbu tanaman-tanaman itu dengan sangat brutal, tidak butuh waktu lama keadaan sawah langsung kacau balau. Ah! Apa peduliku! Masa bodoh, aku tidak peduli yang terpenting kini aku bebas menjelajahi hutan semauku tanpa takut lagi! Kini aku benar-benar bebas! I'm free.
.
.
Aku menikmati hari-hariku sebagai cacing tanah yang bebas di atas permukaan tanah, kini tempatku di atas bukan lagi di bawah! Namun semua tak berlangsung lama, tiba tiba terdengar suara pistol dan gemuruh ramai langkah manusia.
"Bakar hutan ini! Jangan tinggalkan satu hewan pun di sini! Mereka telah merusak sawah kita. Maka kita harus basmi mereka! "teriak mereka murka.
Aku terperanjat, manusia-manusia itu dengan brutal merusak hutan, mereka menembaki setiap burung yang mereka temui.
Dorr... Dorr
"Tidak! Anakku!" teriakan burung pipit itu tatkala besi panas dari mulut senapan menancap pada dada anaknya yang baru saja lahir.
Aku terperanjat, burung pipit itu menangis meratapi jasad anaknya yang telah terbujur kaku.
"Ini semua gara-gara kau cacing bedebah! Karena ambisi mu yang ingin terus berada di permukaan tanah, kau membuat kami semua celaka. Kau bunuh anakku yang baru saja lahir. Kau rusak rumah kami. Kau cacing menjijikkan! Pergi kau dari sini! "
Tidak ada yang bisa aku katakan. Ia benar ini semua kesalahanku. Keinginan untuk bebas dari 'bawah' membuatku buta. Aku menghalalkan segala cara, aku cacing yang tak pandai bersyukur. Aku bodoh, Karena ingin terbebas dari tugas, 'mulia'. Kini semua berantakan. Dan aku tak dapat berbuat apa-apa, aku malu pada diriku sendiri.
"Apa karena itu sekarang kau selalu bersembunyi di bawah tanah? " Rajawali kini menunduk, menatapku dari atas pohon.
“Bukan itu alasannya." Aku spontan terkekeh.
"Lalu? "
"Karena aku adalah cacing tanah."
***
-Annisa Adelina-
0 comments:
Post a Comment